Tidak dipungkiri lagi anak adalah sebuah anugerah yang tak ternilai pemberian illahi, anak adalah semangat hidup, obat dikala lelah dan penerus garis keturunan.
Banyak orangtua yang sangat sayang kepada anak – anak mereka hingga tidak sadar kalau mereka sebenarnya telah menjerumuskan anak – anak mereka untuk menjadi orang yang tak berguna, dan lebih parah lagi jadi sampah masyarakat.
Ada sebuah peribahasa “The Child Is Father Of The Man “ yang artinya anak adalah ayah dari lelaki atau ayah dari ayahnya sendiri dan jika dimaknai adalah anak yang dimanjakan oleh orangtuanya.
Mengutip kata mario Teguh “semakin sejahtera orangtua maka semakin penurut kepada anak – anak mereka........ semoga kita tidak meninggalkan anak- anak yang lemah...”, rasa sayang kepada anak – anak kadang mengalahkan segalanya, kadang apapun yang mereka minta selalu diberikan, walau (kadang) tidaklah baik untuk mereka (sebenarnya). Anak dimanjakan seperti raja dalam sebuah keluarga, tak peduli keluarga itu kaya, keluarga menengah, keluarga sederhana ataupun keluarga miskin sekalipun.
Anak kadang selalu dinomorsatukan secara pelayanan, dipenuhi segala kebutuhannya bagaimanapun caranya. nyaris setiap orangtua berusaha memenuhi segala kebutuhan anak - anak mereka, istilahnya “ demi anak dibela – belain”.
Ada type orangtua yang karena rasa sayangnya begitu besar pada anak, mereka jadi bersikap lunak dengan mengikuti semua keinginan anak mereka. Enggan untuk bisa mengatakan “TIDAK”. Anak terbiasa tanpa kesulitan atau hambatan apapun untuk mendapatkan keinginannya. Jika butuh sesuatu tinggal bilang pada orangtuanya, dan selalu mereka dapatkan. Anak jadi tidak terbiasa dengan ujian, hambatan, tantangan, rejection selama masih dalam naungan orangtua, mereka tidak diajarkan kekerasan hidup yang akan mereka hadapi kelak.
Ada juga type orangtua yang tidak memperbolehkan anaknya melakukan jenis – jenis pekerjaan rumah tangga, seperti merapikan tempat tidur, membersihkan kamarnya, merapikan kembali mainannya, membantu mencuci piring atau mencuci pakaian. Hampir semua pekerjaan yang sebenarnya bisa dikerjakan anak dikerjakan oleh orangtua atau pembantu. Hal ini membuat anak tidak terampil karena tidak terbiasa dilatih secara motorik dirumah, padahal dengan bekerja anak mengenal rasa lelah, dan dapat lebih menghargai saat – saat istirahatnya. Pekerjaan di rumah merupakan sarana latihan agar anak mampu bekerja dan bertanggung jawab dengan pekerjaannya kelak.
Anak manja akan cenderung bermasalah dibandingkan dengan anak yang tidak manja atau terlatih mandiri. Anak manja kerap mempunyai sikap tidak siap menghadapi peraturan - peraturan di lingkungannya dan tidak peduli dengan tanggung jawab sosial, misalnya saat di sekolah saat guru memberikan tugas atau belajar rumus baru anak terebut merasa terbebani. Saat seorang teman meminta bantuannya dia akan merasa berat untuk membantu atau bahkan menolaknya sama sekali. Hal ini karena dia tidak biasa disusahkan, tidak peka terhadap lingkungannya, karena dia biasa dibebas tugaskan, biasa dinomor satukan dan biasa dibantu bukan membantu!!.
Pada akhirnya anak manja jadi cenderung untuk bersikap licik, egois, tidak peduli terhadap orang lain, tidak sabar terhadap sesuatu , mudah rapuh, sulit untuk mandiri, dan lebih banyak menuntut hak – hak mereka.
Anak – anak pada umumnya bosan dinasehati, bosan dimarahi, bosan mendengar larangan – larangan. Orangtua haruslah memahami hal ini, maka cara yang paling efektif adalah memberikan contoh – contoh sikap yang baik pada anak – anak. Dengan penglihatan anak – anak akan lebih mudah mengikuti daripada dengan pendengaran. “ childrean should be seen and not heard “
Sesungguhnya sifat dan sikap orangtua terhadap anak akan membentuk sifat dan sikap yang identik di dalam diri anak- anak. Anak itu cenderung tumbuh menurut dasar sikap dan watak dari orangtuanya, seperti kata pepatah “ like father, like son ” atau “ apel jatuh tidak akan jauh dari pohonnya”, lalu bagaimana ya bila pohon apelnya di pinggir sungai kalau apelnya jatuh lalu hanyut....(??)
Jumat, 03 Desember 2010
Rabu, 17 November 2010
Bolehkah Pakai Kalkulator?
Kalkulator bisa menjadi alat bantu, bisa juga membuat otak tumpul. Kapan waktu yang tepat membolehkan anak memakai alat canggih ini?
"Ma... aku pusing nih. Banyak banget PR matematikanya! Hitungannya banyak lagi. Boleh nggak, aku pakai kalkulator biar ngerjainnya cepat?" pinta Anggia (10 tahun).
"Lho, kamu kan baru kelas 4, belum boleh pakai kalkulator. Nanti otak kamu jadi tumpul kalau ngitung pakai kalkulator," jelas Samira (35 tahun).
"Yaah, Mama kuno deh. Teman-teman kalau di rumah boleh sama mamanya pakai kalkulator," sungut Angia.
***
Penggunaan alat bantu seperti kakulator sampai sekarang masih jadi bahan pertentangan. Banyak orangtua serta sekolah yang melarang muridnya membawa alat itu ke dalam kelas. Tapi ada juga yang mengizinkan. Menurut pihak yang tidak mengizinkan, mereka mengatakan kalkulator bisa berdampak negatif, misalnya anak jadi malas, dan bikin otak jadi tumpul. Anak jadi tidak berlatih berpikir dengan otaknya. Apa-apa tinggal pencet tombol kalkulator. Perhitungan penjumlahan, perkalian, pembagian, akar, pecahan, persentasi, langsung tampak di layar tanpa harus memutar otak lebih keras.
Henny Eunike Wirawan, psikolog di Universitas Tarumanagara Jakarta mengatakan, pengajaran matematika bagi kelas 1-3 baru sebatas pengenalan konsep, terutama untuk anak kelas 1. Kemudian, barulah anak diajarkan untuk memahami konsep, selanjutnya mengaplikasikan konsep. Karena itu untuk tahap awal, anak harus benar-benar kenal segala hal yang berkaitan dengan angka. Termasuk operasi matematika seperti tambah, kurang, kali, dan bagi. "Supaya bisa menguasai konsep dasar, anak harus mengerjakan sendiri tugas-tugasnya dengan cara manual, tanpa alat bantu."
Cara pengenalan secara manual ini menurut Henny lebih efektif daripada menggunakan alat bantu. Sebab kalau memakai alat bantu, anak akan dengan mudah mengalami ketergantungan dengan benda tersebut. Khususnya kalkulator. "Tanpa kalkulator, bisa-bisa anak tidak mampu mengerjakan tugasnya. Kalaupun bisa, tentunya sangat lambat, karena mereka tidak terbiasa melakukan perhitungan sederhana sekalipun. Dengan begitu potensi logika matematika anak menjadi tumpul, karena penggunaan alat bantu yang sebenarnya belum pada waktunya digunakan."
Di samping itu, terang Henny, penggunaan kalkulator di usia dini cenderung mendorong anak tidak terbiasa teliti dalam bekerja. "Kalkulator bisa saja membuat anak tidak mengerti konsep matematika. Akibatnya malah jadi tidak bisa matematika."
Tak Akan Gaptek
Jika ditilik dari segi positifnya, kalkulator bisa mempercepat proses kerja dan menghemat kertas hitung. "Anak tidak perlu menggunakan kertas coret-coretan dan berlama-lama mengerjakan tugas. Efeknya, lebih banyak kegiatan di luar mengerjakan PR yang bisa dilakukan anak," papar Pembantu Dekan III Fakultas Psikologi ini.
Namun lanjut Henny, ada baiknya kalkulator digunakan oleh anak yang lebih besar. Misal untuk anak kelas 1 SLTP atau lebih. "Anak yang lebih dewasa sudah mengenal rumus yang akan digunakan dan aplikasinya pada hitungan tertentu. Jadi penggunaan kalkulator benar-benar sebagai alat bantu, bukan sarana utama. Anak sendirilah yang menentukan perhitungan seperti apa yang harus dijalankannya."
Dalam perkuliahan sekalipun, tanpa mengerti proses perhitungan secara manual, kalkulator secanggih apapun tak ada gunanya. "Mahasiswa sekalipun mesti mengerti apa yang harus dilakukannya. Barulah, kalkulator digunakan untuk membantu proses perhitungan itu."
Mengenai kekhawatiran orangtua bahwa kalau anak tak dikenalkan kalkulator, anak jadi gaptek (gagap teknologi), Henny membantahnya. "Tak perlu khawatir si kecil dikatakan gaptek. Kecanggihan kalkulator bisa dipelajari dalam waktu cepat, asalkan hal-hal yang mendasar sudah dikuasai dengan baik."
Sempoa, Boleh Nggak?
Sempoa sudah ada jauh sebelum kalkulator ada. Hanya saja, baru mulai populer lagi belakangan ini. Penggunaan sempoa pada prinsipnya membantu anak untuk menyeimbangkan otak kiri dan kanan, agar kedua belahan otak berfungsi secara optimal.
Tapi menurut Henny, seandainya mau digunakan sebagai alat bantu berhitung, seyogyanya penggunaan sempoa dipertimbangkan kembali. Sebab fungsi sempoa mirip kalkulator. "Kecuali kalau si anak sudah sangat menguasai sempoa, sehingga bisa melakukan perhitungan cara sempoa cukup dengan menggunakan jari tangan. "Jadi, metodenya yang diadaptasi, tanpa perlu membawa alatnya ke dalam kelas."
Kalkulator bisa menjadi alat bantu, bisa juga membuat otak tumpul. Kapan waktu yang tepat membolehkan anak memakai alat canggih ini?
"Ma... aku pusing nih. Banyak banget PR matematikanya! Hitungannya banyak lagi. Boleh nggak, aku pakai kalkulator biar ngerjainnya cepat?" pinta Anggia (10 tahun).
"Lho, kamu kan baru kelas 4, belum boleh pakai kalkulator. Nanti otak kamu jadi tumpul kalau ngitung pakai kalkulator," jelas Samira (35 tahun).
"Yaah, Mama kuno deh. Teman-teman kalau di rumah boleh sama mamanya pakai kalkulator," sungut Angia.
***
Penggunaan alat bantu seperti kakulator sampai sekarang masih jadi bahan pertentangan. Banyak orangtua serta sekolah yang melarang muridnya membawa alat itu ke dalam kelas. Tapi ada juga yang mengizinkan. Menurut pihak yang tidak mengizinkan, mereka mengatakan kalkulator bisa berdampak negatif, misalnya anak jadi malas, dan bikin otak jadi tumpul. Anak jadi tidak berlatih berpikir dengan otaknya. Apa-apa tinggal pencet tombol kalkulator. Perhitungan penjumlahan, perkalian, pembagian, akar, pecahan, persentasi, langsung tampak di layar tanpa harus memutar otak lebih keras.
Henny Eunike Wirawan, psikolog di Universitas Tarumanagara Jakarta mengatakan, pengajaran matematika bagi kelas 1-3 baru sebatas pengenalan konsep, terutama untuk anak kelas 1. Kemudian, barulah anak diajarkan untuk memahami konsep, selanjutnya mengaplikasikan konsep. Karena itu untuk tahap awal, anak harus benar-benar kenal segala hal yang berkaitan dengan angka. Termasuk operasi matematika seperti tambah, kurang, kali, dan bagi. "Supaya bisa menguasai konsep dasar, anak harus mengerjakan sendiri tugas-tugasnya dengan cara manual, tanpa alat bantu."
Cara pengenalan secara manual ini menurut Henny lebih efektif daripada menggunakan alat bantu. Sebab kalau memakai alat bantu, anak akan dengan mudah mengalami ketergantungan dengan benda tersebut. Khususnya kalkulator. "Tanpa kalkulator, bisa-bisa anak tidak mampu mengerjakan tugasnya. Kalaupun bisa, tentunya sangat lambat, karena mereka tidak terbiasa melakukan perhitungan sederhana sekalipun. Dengan begitu potensi logika matematika anak menjadi tumpul, karena penggunaan alat bantu yang sebenarnya belum pada waktunya digunakan."
Di samping itu, terang Henny, penggunaan kalkulator di usia dini cenderung mendorong anak tidak terbiasa teliti dalam bekerja. "Kalkulator bisa saja membuat anak tidak mengerti konsep matematika. Akibatnya malah jadi tidak bisa matematika."
Tak Akan Gaptek
Jika ditilik dari segi positifnya, kalkulator bisa mempercepat proses kerja dan menghemat kertas hitung. "Anak tidak perlu menggunakan kertas coret-coretan dan berlama-lama mengerjakan tugas. Efeknya, lebih banyak kegiatan di luar mengerjakan PR yang bisa dilakukan anak," papar Pembantu Dekan III Fakultas Psikologi ini.
Namun lanjut Henny, ada baiknya kalkulator digunakan oleh anak yang lebih besar. Misal untuk anak kelas 1 SLTP atau lebih. "Anak yang lebih dewasa sudah mengenal rumus yang akan digunakan dan aplikasinya pada hitungan tertentu. Jadi penggunaan kalkulator benar-benar sebagai alat bantu, bukan sarana utama. Anak sendirilah yang menentukan perhitungan seperti apa yang harus dijalankannya."
Dalam perkuliahan sekalipun, tanpa mengerti proses perhitungan secara manual, kalkulator secanggih apapun tak ada gunanya. "Mahasiswa sekalipun mesti mengerti apa yang harus dilakukannya. Barulah, kalkulator digunakan untuk membantu proses perhitungan itu."
Mengenai kekhawatiran orangtua bahwa kalau anak tak dikenalkan kalkulator, anak jadi gaptek (gagap teknologi), Henny membantahnya. "Tak perlu khawatir si kecil dikatakan gaptek. Kecanggihan kalkulator bisa dipelajari dalam waktu cepat, asalkan hal-hal yang mendasar sudah dikuasai dengan baik."
Sempoa, Boleh Nggak?
Sempoa sudah ada jauh sebelum kalkulator ada. Hanya saja, baru mulai populer lagi belakangan ini. Penggunaan sempoa pada prinsipnya membantu anak untuk menyeimbangkan otak kiri dan kanan, agar kedua belahan otak berfungsi secara optimal.
Tapi menurut Henny, seandainya mau digunakan sebagai alat bantu berhitung, seyogyanya penggunaan sempoa dipertimbangkan kembali. Sebab fungsi sempoa mirip kalkulator. "Kecuali kalau si anak sudah sangat menguasai sempoa, sehingga bisa melakukan perhitungan cara sempoa cukup dengan menggunakan jari tangan. "Jadi, metodenya yang diadaptasi, tanpa perlu membawa alatnya ke dalam kelas."
Sabtu, 13 November 2010
Manfaat Belajar Sempoa
Liputan6.com, Jakarta: Belajar sempoa akan memberikan dampak positif bagi keseimbangan otak kiri dan otak kanan pada anak-anak. Komisaris Sempoa SIP, Alexander Taslim, Sabtu (26/6) mengatakan, tujuan utama belajar sempoa adalah membuat perkembangan otak kiri dan otak kanan pada anak seimbang.
Alaxander menambahkan, jika saat usia dini otak anak telah dioptimalkan, akan berdampak positif pada masa dewasanya. "Banyak dari kita hanya mengembangkan otak kiri saja atau otak kanan, karena tidak terlatih sejak usia masih dini," ujar dia.
Melalui sempoa, sistem edukasi mengoptimalkan potensi otak anak dilakukan secara maksimal. "Jika itu dikembangkan, kelak akan berguna bagi pribadi mereka," katanya (AND/Antara.
Perlu ditambahkan disini, dengan sistem belajar sempoa yang menuntut pesertanya untuk berpikir cepat akan berpengaruh positif bagi perkembangan karakter mereka saat dewasa nanti, seperti negoisasi bisnis yang menuntut berpikir cepat.
Di kecamatan sawangan, Depok sudah ada beberapa madrasah Ibtidaiyah yang menerapkan Sempoa sebagai Muatan lokal dan semua siswa diwajibkan untuk mengikuti mata pelajaran tersebut, sehingga tidak ada lagi persepsi belajar sempoa itu "mahal" karena harus ikut kursus-kursus di luar sekolah, sekolah - sekolah tersebut adalah MI Khoirul Huda (Jl.H. Sulaeman No 9 Bedahan, Sawangan, Depok), MI Misbahul Falah (Kp. Kandang RT.01/02 Duren Mekar, Depok) dan MI Hayatul Islamiyah (Sawangan Utara).
Mengapa sempoa dijadikan Muatan lokal yang diikuti semua siswanya? karena dengan begitu wali murid tidak perlu lagi mengeluarkan budget lebih untuk anak mereka supaya bisa merasakan manfaat belajar sempoa.
jadi tidak perlu mahal khan untuk menjadi pintar!!?, contact us for further information...
Alaxander menambahkan, jika saat usia dini otak anak telah dioptimalkan, akan berdampak positif pada masa dewasanya. "Banyak dari kita hanya mengembangkan otak kiri saja atau otak kanan, karena tidak terlatih sejak usia masih dini," ujar dia.
Melalui sempoa, sistem edukasi mengoptimalkan potensi otak anak dilakukan secara maksimal. "Jika itu dikembangkan, kelak akan berguna bagi pribadi mereka," katanya (AND/Antara.
Perlu ditambahkan disini, dengan sistem belajar sempoa yang menuntut pesertanya untuk berpikir cepat akan berpengaruh positif bagi perkembangan karakter mereka saat dewasa nanti, seperti negoisasi bisnis yang menuntut berpikir cepat.
Di kecamatan sawangan, Depok sudah ada beberapa madrasah Ibtidaiyah yang menerapkan Sempoa sebagai Muatan lokal dan semua siswa diwajibkan untuk mengikuti mata pelajaran tersebut, sehingga tidak ada lagi persepsi belajar sempoa itu "mahal" karena harus ikut kursus-kursus di luar sekolah, sekolah - sekolah tersebut adalah MI Khoirul Huda (Jl.H. Sulaeman No 9 Bedahan, Sawangan, Depok), MI Misbahul Falah (Kp. Kandang RT.01/02 Duren Mekar, Depok) dan MI Hayatul Islamiyah (Sawangan Utara).
Mengapa sempoa dijadikan Muatan lokal yang diikuti semua siswanya? karena dengan begitu wali murid tidak perlu lagi mengeluarkan budget lebih untuk anak mereka supaya bisa merasakan manfaat belajar sempoa.
jadi tidak perlu mahal khan untuk menjadi pintar!!?, contact us for further information...
Langganan:
Postingan (Atom)